Perspektif sosiologi hukum)
Oleh Simon Tukan 
 
SEBULAN terakhir, halaman-halaman Pos Kupang (PK) diwarnai dengan pemberitaan mengenai masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Beberapa yang dapat direkam di sini adalah :
(a)     ditahannya penanggung jawab TKI (PK,24/8), 
(b)     11 orang calon TKI digelandang ke Mapolres Kupang dan polisi   
          gagalkan pemberangkatan 108 TKI (PK, 31/8), 
(c)      7 calon TKI disekap di Jakarta (PK,1/9) dan 
(d)    136 TKI ditangkap (PK,2/9). Masih banyak lagi yang tidak dideretkan di sini,  seperti pemerkosaan, kekerasan dan pembunuhan TKI di dalam maupun di luar negeri.
 
Dokumentasi Pos Kupang mencatat sekurang-kurangnya 7 kasus penangkapan dan pemulangkan TKI asal NTT (PK,2/9). Apa yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari masalah ketenagakerjaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan belum teratasi. Mengapa bangsa ini tidak pernah berhenti bergumul dengan persoalan ketenagakerjaan? Tulisan ini akan membahas masalah tersebut dari sudut pandang sosiologi hukum.Keterlibatan manusia
 
Menggunakan sosiologi hukum untuk menganalisis persoalan ketenagakerjaan berarti kita tidak hanya melihat peraturan-peraturan hukum yang diciptakan untuk mengatur TKI, tetapi dan terutama adalah keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum tersebut. Sudut pandang ini penting karena meskipun di Indonesia sudah ada UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan berbagai peraturan pelaksanaannya, masih begitu banyak masalah TKI yang timbul dan sepertinya tidak pernah berhenti. Salah satu masalah yang dikeluhkan ialah para calon TKI itu mencari kerja tanpa membawa serta dokumen-dokumen resmi, yaitu persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh seorang pencari kerja. 
 
Masalah-masalah itu erat kaitannya dengan keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum, dalam hal ini pelaksanaan dan penegakan  hukum ketenagakerjaan. Keterlibatan manusia membuat pelaksanaan dan penegakan itu tidak hanya logislinier semata, tetapi sangat kompleks karena sarat dengan dimensi manusia  dan sekalian faktor yang menyertainya. Karena itu Holmes mengatakan, "hukum tidak hanya sesuatu yang logis tetapi juga merupakan pengalaman" (Raharjo,2002).
 
Pengetahuan dan pemahaman hukumDengan kerangka pikir itu keberhasilan 
pelaksanaan dan penegakan hukum ketenagakerjaan sangat bergantung dari tingkat kepatuhan berbagai komponenberikut : calon TKI dan keluarga, para calo, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perekrut TKI), perusahaan pengguna tenaga kerja dan juga bergantung dari kualitas pelayanan hukum dari pemerintah. Sudah pasti bahwa tingkat kepatuhan hukum berbeda dari calon TKI dan keluarga dengan para calo, dengan perusahaan penyedia tenaga kerja, dengan perusahaan pengguna tenaga kerja. Pengetahuan dan pemahaman hukum dari masing-masing pihak dengan seluruh latar belakangnya sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan hukum. Demikian juga kualitas pelayanan dari pemerintah erat kaitannya dengan faktor sosial yang melingkunginya.
 
Dalam hal masalah calon TKI yang tidak mempunyai dokumen resmi, UU Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa seseorang yang mau menjadi pekerja pada perusahaan tertentu melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dan khusus untuk anak diatur dalam Pasal 69 ayat (2). Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa harus ada hubungan antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang dinyatakan melalui perjanjian kerja. Selain itu, pekerja/buruh, terutama pekerja/buruh anak harus mendapat izinan dari orangtua/wali. Mutatis-mutandis, pekerja yang sudah berkeluarga 
perlu mendapat izinan dari suami/istri, selain itu pekerja juga perlu mendapat izin dari kepala desa atau lurah tempat dia berasal.Kebutuhan mendapatkan pekerjaan. Syarat-syarat tersebut sering sulit terpenuhi karena berbagai sebab, antara lain ketidaktahuan si calon TKI, keterbatasan dana untuk mengurusnya atau sikap cari gampang dengan mengandalkan jaminan dari anggota keluarga, kerabat atau kenalan yang sudah berpengalaman di sana. Hal terakhir ini didukung oleh faktor kelancaran transportasi yang menghubungkan tempat asal TKI dengan daerah tujuan. Syarat-syarat administratif semakin sulit terpenuhi bilamana para calo dan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mengetahui kelemahan si calon TKI dan memanfaatkannya dengan memberikan janji-janji muluk bahwa akan menjamin membereskan semua urusan setelah si calon TKI tiba di tempat kerja. Contoh dalam hal ini adalah pengalaman yang dialami oleh Marya Cardoso, dkk yang dijanjikan akan dipekerjakan di Malaysia tetapi kemudian disekap di suatu tempat di Jakarta, atau juga nasib yang dialami oleh 136 calon TKI dari Belu yang mengikuti Wempy Oematan yang berjanji akan mengurus perjalanan mereka.
 
Ketakberdayaan calon TKI membuat mereka memberikan kepercayaan yang penuh kepada para calo atau perusahaan perekrut pekerja/buruh untuk mengurus segala persyaratan yang diperlukan. Para calo atau perusahaan dalam hal ini berperan sebagai penghubung antara calon TKI dengan hukum. Hukum bagi para calon TKI, seperti dikatakan Maureen Cain, tampak sebagai "meta-language", yangsama sekali tidak mudah dipahami (Raharjo, 2002:152). Karena itu para calo atau perusahaan 
perekrut pekerja/buruh bertindak sebagai penerjemah hukum. Transaksi keduanya berlangsung dalam konteks ekonomi sebagai medan sosial. Para calon TKI sebetulnya tidak mempunyai kepentingan dengan hukum, mereka hanya ingin memperoleh bantuan atau pertolongan agar kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dapat teratasi. Mereka tidak peduli dengan peraturan-peraturan hukum yang harus dtaati dalam proses mendapatkan pekerjaan. Yang diperlukannya hanyalah bantuan untuk segera mendapatkan pekerjaan. Karena itu, tugas para calo atau perusahaan perekrut adalah melayani kepentingan calon TKI dan kepentingan perusahaan pengguna tenaga kerja.
 
Sebagai penghubung para calo atau perusahaan perekrut sering mengalami konflik kepentingan, sehingga harus melakukan manajemen konflik. Mereka berusaha meyakinkan para calon TKI dan perusahaan pengguna tenaga kerja sebagai orang yang profesional di bidang hukum, orang yang tahu apa yang dibutuhkan dan prosedur yang ditempuh sehingga kepentingan kedua pihak yang lain dapat terpenuhi. Dalam konteks ekonomi sebagai medan sosial transaksi tersebut cenderung melindungi kepentingan para calo atau perusahaan perekrut tanpa jaminan bahwa kepentingan si calon TKI pun dilindungi. Dalam hal ini, 
perekrutan TKI tidak lebih dari upaya perdagangan manusia.
 
Pelayanan hukum kepada masyarakat
 
Persoalan ketenagakerjaan juga dipengaruhi oleh faktor pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan hukum kepada masyarakat, yakni mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan hukum. Pelaksanaan fungsi pelayanan hukum harus mampu memberikan pencerahan dan perlindungan hukum kepada masyarakat dengan memperhatikan berbagai dimensi berikut: (1) mencegah pelanggaran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum pada umumnya; (2) menjaga keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam aneka kegiatan yang 
diawasi; (melindungi kepentingan umum dari suatu kegiatan yang tidak diawasi atau dikendalikan dan (5) mencegah orang-orang atau badan yang tidak berhak, atau yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum (Bagir Manan, 2000:158).
 
Pelaksanaan fungsi pelayanan hukum dengan berbagai dimensinya, tidak jarang menimbulkan masalah karena berbagai alasan. Pertama, pelibatan masayarakat sebagai upaya demokratisasi dalam pelaksanaan fungsi pelayanan hukum tidak proporsional dengan pelayanan pemerintahan terhadap masyarakat. Di satu pihak pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan memberikan berbagai kemudahan dan mendorong tumbuhnya kreativitas dan inisiatif masyarakat, tetapi 
di pihak lain hal itu justru menghilangkan berbagai peluang masyarakat yang dibatasi oleh waktu, kesempatan dan sebagainya; membuka peluang bagipenyalahgunaan wewenang karena birokratisasi yang berlebihan dalam penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian. Kedua, pelaksanaan pelayanan hukum terlalu sering dikaitkan dengan fungsi pengamanan (security) dengan pendekatan ancaman. Cara pelayanan hukum demikian, membutuhkan banyak tenaga birokrasi tetapi tidak sebanding dengan kebutuhan pekerjaan yang mau diselesaikan. Pelibatan banyak tenaga biasanya menimbulkan persoalan-persoalan koordinasi, pemaduan 
pendapat, waktu dan lain-lain. Hal itu akan semakin sulit bila mutu sumber daya manusia yang bekerja pada birokrasi tidak begitu memadai (Bagir Manan: 2000:159-160).
 
Demikianlah masalah TKI tanpa dokumen resmi yang muncul ke permukaan ternyata begitu kompleks dan sangat mempengaruhi kehendak para pihak untuk mematuhi hukum dan melaksanakan pelayanan hukum secara jujur, cepat dan tepat. Untuk lebih meningkatkan kepatuhan hukum masyarakat dan mengoptimalkan pelayanan hukum kepada masyarakat, khususnya di bidang ketenagakerjaan maka perlu dilakukan beberapa hal berikut: a) penyederhanaan tata cara dan kewenangan pelayanan. Hal ini berkaitan erat dengan dengan peniadaan berbagai syarat atau prasyarat yang tidak relevan dengan pelayanan hukum. Tidak jarang dijumpai bahwa syarat atau prasyarat tersebut merupakan hasil tambahan yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, khusus bidang ketenagakerjaan; b) melepaskan fungsi pelayanan dari semua pemikiran bahwa pelayanan adalah instrumen sumber keuangan. c) menjauhkan fungsi pengawasan yang menekankan fungsi pengamanan dengan pendekatan keamanan; d) memperbaiki hubungan kewenangan yang tumpang tindih, penuh ketidakpastian, dan e) membuat perencanaan dan melaksanakan 
sistematis pembinaan sumber daya manusia (masyarakat akar rumput) dengan mengutamakan mutu, jaminan kemudahan untuk memperoleh pekerjaan dan mencapai kesejahteraan (Bagir Manan, 2000:162-163).
 
* Penulis, rohaniwan, tinggal di Ruten
0 Responses

Posting Komentar