PERLINDUNGAN HAM DALAM HUKUM PIDANA ISLAM


Bagi umat Islam setiap hak harus dikembalikan kepada dua sumber rujukannya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah. Jadi hak asasi manusia menemukan landasan yang kuat dalam hukum Islam.

Dalam Islam, semakin manusia tunduk kepada Tuhan dan hanya mengabdi kepada-Nya, semakin bebas ia dari penghambaan kepada manusia lain atau makhluk Tuhan lainnya. Dengan mengatakan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) ia menutup pintu dari semua penghambaan. Ini berarti menyatakan dan menegaskan bahwa pada dasarnya dirinya adalah bebas.

Boisard, dalam kaitan ini menyatakan "God's omnipotence leads to man's freedom from man. His exclusive adoration, direct and without intermediary, asserts the believer's greatness and guarantees his need not fear being the slave of any but God."[1]

Hukum Islam patut dicontoh dalam mempertahankan bahwa hak-hak fundamental tidak dapat diciptakan oleh manusia tetapi hanya dapat dia buat menjadi terang. Hak-hak tersebut diturunkan secara tidak langsung dari nilai dasarnya, bahwa ia adalah hamba Tuhan, dengan demikian tidak menghamba kepada yang lain, ia bebas.

Meskipun tidak menempati posisi utama secara khusus, adalah keliru menyimpulkan bahwa tidak cukup perlindungan hukum terhadap human rights ini, karena semua hukum yang berdasarkan Al Qur'an secara prinsip sama penting. Literatur hukum Islam biasanya tidak menjadikan human rights sebagai satu kelompok khusus, tetapi mengkaitkannya dalam konteks berbagai subyek seperti hukum perkawinan, hukum pidana, hukum ekonomi dan sebagainya.

Sama dengan pendekatan tersebut, Islam juga mengenal bahwa hak apapun juga (termasuk human rights), hanya dapat dijamin jika seluruh sistem hukum di dalam kondisi dan keteraturan yang baik, dimana bahwa tujuan yang mulia dari keadilan tadi dapat dicapai sebagai hasil dari suatu sistem yang komprehensif dan adil.

Sejak lebih dari 1400 tahun yang lalu, hak-hak tertentu telah mendapat jaminan berdasarkan Al Qur'an, yaitu (Bassiouni, 1982:23; Hofmann, 1993:129-130):

· Hak hidup

· Keamanan diri

· Kemerdekaan

· Perlakuan yang sama (non diskriminasi)

· Kemerdekaan berpikir, berekspresi, keyakinan dan beribadah

· Perkawinan

· Kemerdekaan hukum

· Asas praduga tak bersalah

· Nulla paena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang sebelum perbuatan itu)

· Perlindungan dari kekejaman

· Suaka

· Kebebasan berserikat dan berkumpul

· Berprofesi dan bekerja

· Hak memilih, memperoleh dan menentukan hak milik

· Dsb

Al Qur'an memberi tekanan pada persamaan di antara manusia. Semua manusia adalah sama dalam hal asal spiritual mereka, karena telah diciptakan oleh pencipta yang sama, dan mereka sama dalam asal fisik mereka karena berasal dari spesies yang sama. Tiada ruang bagi klaim superioritas karena asal atau nenek moyang.

Islam tidak mengakui keutamaan atas dasar kelahiran, kebangsaan atau faktor-faktor lain. Kemuliaan yang sesungguhnya terletak pada ketakwaan semata-mata. Rasulullah bersabda: "Semua manusia adalah sama seperti gigi sisir. Bangsa Arab tidak lebih tinggi dibanding bangsa non Arab kecuali dalam hal ketakwaan."

Persamaan antara pria dan wanita pada kenyataannya merupakan akibat wajar atau penerapan dari doktrin persamaan. Satu dari prinsip-prinsip umum syariah Islam adalah bahwa hak-hak dan tugas-tugas wanita adalah sama dengan pria. Sebagaimana pria mempunyai tertentu yang harus dipenuhi terhadap wanita, wanitapun memiliki kewajiban tertentu terhadap pria. [2] (Audah, 1987:27)

Kebebasan

Jauh dari sikap fanatik dan memaksa umat lain menjadi seorang muslim, umat Islam (sebagaimana dituntun oleh Qur'an) menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Apabila anda melihat negara-negara muslim, mulai dari Arab Saudi, Iran, Turki dan negara-negara muslim lainnya yang telah menganut Islam selama 14 abad, tetap ada masyarakat non muslim, seperti contoh : ada penganut Sikh, Hindu, Kristen yang telah hidup di sana berabad-abad lamanya. Maka jika ada paksaan untuk beralih Islam, maka selama berabad-abad itu mereka telah berganti agama, menjadi pemeluk Islam. Umat Islam tidak memaksa individu-individu untuk menerima keimanannya, dan dengan demikian siapapun yang mengatakan bahwa anda harus memotong leher untuk membuat orang menerima Islam, bukan berasal dari Islam dan tidak ada justifikasi apapun juga untuk itu.[3] Kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan Al Qur'an mengenai hal ini :

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Q.S. 2:256)

Dengan memberikan jaminan kepada kebebasan dalam keyakinan kepada semua penduduk, baik muslim dan non muslim, syariah telah menunjukkan tingkatan tertinggi dari kesempurnaannya. Ia memberikan kepada orang-orang non muslim hak untuk mengekspresikan keyakinannya, menjaga tempat ibadahnya dan sekolah-sekolah untuk mengajarkan agamanya. [4]

Di samping itu, Islam juga menjamin kebebasan berpikir dan berbicara. Al Qur'an mengajarkan kepada kaum muslimin untuk berpikir dan merenung, banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan prinsip kebebasan berpikir ini dan menekankan penggunaan akal.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air itu. Dia hidupkan hidup sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Q.S. 2:264)

Al Qur'an memperingatkan orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, menjadikan akalnya tidak bekerja dan mengikuti sesuatu yang tidak jelas, ia juga memperingatkan untuk tidak mengikuti takhayul dan mitos serta tunduk membabi buta pada tradisi dan kebiasaan.

Manusia boleh memikirkan apa saja dan mengambil setiap model pemikiran yang dia pilih. Dia tidak dapat dicela karena pemikirannya, bahkan bila berpikir tentang sesuatu yang dilarang syariah; karena syariah tidak mencela akal pikiran dan memerintahkan setiap orang untuk menghitung pemikiran dari suatu kata yang terlarang telah diucapkan atau suatu perbuatan yang dilarang sudah dilakukannya.[5]

Meskipun setiap individu memiliki hak berbicara atau menggunakan penanya untuk membela keyakinannya, tetapi hak ini bukan merupakan kebebasan tanpa batas. Orang dapat menggunakan hak ini hanya dalam batas-batas kepantasan sosial, moralitas, dan pada kondisi yang tidak mengotori ketentuan-ketentuan syariah.

Hak untuk Hidup, Merdeka dan Keamanan Diri

Islam, seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak ini. Ia melarang bunuh diri (Q.S. 4:30), dan juga pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar bagaikan membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah ia memelihara manusia seluruhnya.(Q.S. 5:32)

Islam, secara keliru dianggap menyetujui dan melestarikan perbudakan. Pada kenyataannya Islamlah yang menyelamatkan nasib para budak. Dalil syariah maupun fakta sejarah menunjukkan hal ini. Dalam zaman pra-Islam, perbudakan telah berkembang tanpa kontrol dan kebanyakan budak mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Pemilik budak memiliki dan menggunakan kekuasaan atas hidup dan matinya si budak.

Islam melarang perbuatan demikian. Sikap Nabi Muhammad SAW sendiri terhadap perbudakan sangat terkenal. Beliau membagikan banyak harta kepada fakir miskin, membebaskan para budak, bersikap bijaksana dan manusiawi kepada mereka. Sikap ini dicontoh oleh sahabat-sahabat nabi dan terus berlanjut hingga hapusnya perbudakan. Sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad SAW tidak memiliki seorang budakpun, karena lembaga perbudakan dan segala yang berbau dengan itu tidak pantas bagi beliau.[6]

Tetapi kondisi kehidupan pada masa itu (awal abad ke-7) tidak memungkinkan penghapusan secara total lembaga ini karena perbudakan sudah ada selama berabad-abad. Rasulullah SAW telah melakukan usaha untuk melindungi para budak. Beliau tidak saja menegaskan perlakuan manusiawi kepada budak, tetapi juga memungkinkan bagi mereka meraih kemerdekaan. Perbuatan baik kepada budak dipandang sebagai perbuatan yang sangat mulia. [7]

Dalam Al Qur'an ditegaskan bahwa perbuatan baik kepada budak adalah perbuatan yang sangat mulia:

"…….dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat atau jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya …."(Q.S. 4:36)

Masalah Hukuman Terhadap Pelaku Kejahatan

Pasal 5 dari Universal Declaration of Human Rights bertujuan menghapuskan perlakuan atau hukuman yang menganiaya, kejam, tidak manusiawi atau merendahkan. Sejauh perhatian ditujukan pada masalah perlakuan, Islam tidak mengenal suatu dasar bagi perlakuan diskriminatif. Semua orang berhak atas perlakuan yang adil dan sama. Perilaku dan sikap yang bermartabat serta penghargaan terhadap martabat orang lain menjadi karakter yang terkemuka dari masyarakat Islam bahkan selama apa mungkin bisa disebut periode penurunan sekalipun.

Nabi Muhammad SAW melarang kekejaman dan penyiksaan. Beliau bersabda : "Tidak seorangpun boleh dijatuhi hukuman dengan api," dan juga memperingatkan untuk tidak memukul siapapun pada wajahnya.

Di bidang hukum pidana, beberapa hukuman mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Beratnya hukuman yang diancamkan bagi beberapa kejahatan seperti perzinahan, akan lebih mudah dimengerti bila diingat bahwa menjaga nilai-nilai dan standard moral merupakan perhatian utama dari agama.

Akan tetapi, pengertian seperti itu, tidak mudah muncul dari masyarakat modern dimana hubungan seksual sebelum atau diluar nikah tidak lagi dipandang bertentangan dengan moral [8], atau masyarakat yang memandang hubungan seksual sesama jenis sebagai normal dan hak setiap pribadi yang tidak bisa diganggu gugat.

Setiap masyarakat memiliki dan mengikuti standardnya sendiri. Islam memandang kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang keji dan konsekuensinya sangat menyakitkan. Contoh kejahatan lainnya adalah pencurian yang dikategorikan dalam hukuman hudud. Hukuman bagi kejahatan ini adalah dipotong tangan. Hal ini terdengar sangat berat, tetapi ada kriteria-kriteria tertentu sehingga pencurian itu bisa dijatuhi hukuman seperti ini. Kalau kita ingat bahwa di Inggris, pencurian benda yang berharga tidak lebih dari satu shilling sudah diklasifikasikan sebagai kejahatan berat dan, sebagaimana kejahatan berat lainnya, dihukum dengan hukuman mati. Hal itu berlangsung hingga akhir 1861.[9]

Kesamaan di Hadapan Hukum

Islam menanamkan dan memegang teguh prinsip kesamaan di hadapan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi dengan begitu jelas dan tegas. Para hakim ditugaskan untuk menjalankan tugasnya dengan adil dan tidak berpihak.

Umar bin khatab ra, Khalifah kedua, pernah tercatat sebagai tergugat dalam suatu kasus. Saat ia hadir di depan sidang, hakim yang menangani kasus itu berdiri menghormat. Umar ra memandang bahwa ia datang bukan dalam kapasitas sebagai khalifah, tetapi sebagai warga negara biasa dimana adalah tidak konsisten bagi hakim untuk menunjukkan rasa hormat kepadanya yang tidak berlaku bagi setiap warga negara lainnya yang muncul di pengadilan. Dia berpendapat bahwa hakim tersebut, dengan perbuatannya itu, telah melanggar tugas untuk tidak berpihak terhadap para pihak dan tidak lagi cakap untuk melaksanakan fungsi-fungsi judicial.[10]

Kisah lainnya adalah mengenai Ali bin Abi Thalib ra, Khalifah keempat dan menantu Rasulullah SAW. Ali ra pada suatu ketika muncul di pengadilan sebagai penggugat melawan seorang yahudi. Untuk mendukung gugatannya, sebagai tambahan bagi keterangannya sendiri, Ali mengajukan putranya Hasan ra sebagai seorang saksi. Hakim perkara berpendapat bahwa hubungan yang sangat dekat antara penggugat dan saksi, kesaksian yang diberikan tidak dapat diakui dan dia menolak gugatan tersebut. Si tergugat sangat terkesan menyaksikan hal tersebut dan pada akhirnya dia mengakui klaim tersebut dan melepaskannya. [11]

Harus dicatat bahwa apapun perbedaan yang ada dalam sistem hukum Islam antara muslim dan non muslim bukanlah sikap diskriminasi, melainkan suatu pelaksanaan peradilan yang oleh Bassiounni (1982) disebut sebagai a separate paralel equal application of justice. Hal ini didasarkan pada perbedaan kriteria untuk merespon maksud dan tujuan yang berlainan.

Dalam konteks pertanyaan yang lebih luas tentang peradilan pidana Islam dan perlindungan hak-hak asasi manusia, ada pertanyaan mengenai tempat bagi individu, dan hak-haknya yang diambil dari hubungan konseptual antara individu dan negara. Berbeda dengan filosofi dan persepsi barat tentang keterpisahan antara individu dengan negara, konsep sosial Islam tidak membuat perbedaan seperti itu. Individu tidak berdiri sendiri dalam posisi sebagai lawan dari negara tetapi adalah bagian integral darinya.

Aspek Perlindungan HAM Dalam Hukum Pidana Islam[12]

Agama dengan ketiga rukunnya yakni Iman, Islam dan Ihsan atau Akidah, Syariah dan Akhlak adalah murni diperuntukkan kepada umat manusia. Tidak ada sedikitpun kepentingan Tuhan yang menurunkannya., karena Allah SWT memang tidak punya kepentingan sekecil apapun. Karena itu, setiap ketentuan agama, termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan serta perlindungan hak dan kepentingan manusia. Di kalangan para ulama dikenal apa yang disebut Maqoshid al Syariah yaitu tujuan hukum Islam yang mencakup perlindungan terhadap lima hal yang menjadi tonggak keberadaan manusia yakni agama (akidah), nyawa, asal nasab atau harga diri, dan harta benda.

Dengan demikian pertanyaan tentang sejauh mana hukum pidana Islam dapat melindungi hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak perlu muncul di tengah umat yang meyakini kebenaran agama tersebut. Namun akhirnya pertanyaan tersebut menemukan relevansinya karena didukung oleh beberapa faktor di antaranya yang terpenting adalah (1) perbedaan pandangan antara agama dan pandangan umum yang berkembang dalam melihat HAM serta filosofinya, dan (2) perhatian terhadap Islam yang menitikberatkan pada hukum pidananya. Kedua faktor ini bukan saja melahirkan tanda tanya bagi sementara orang tentang kaitan hukum pidana Islam dengan HAM, tetapi bahkan telah melahirkan sikap apriori terhadap hukum Islam secara keseluruhan dari sebagian umat Islam sendiri.

Bahwa Islam secara eksplisit menyatakan sangat menghormati harkat manusia adalah sesuatu yang teramat jelas. Namun, dalam melihat manusia, Al Qur'an telah menggabungkan dua sisi dari makhluk ini yang bertolak belakang. Manusia dianggap sebagai makhluk yang sangat mulia tetapi pada saat yang sama ia juga dianggap sebagai makhluk yang sangat hina.

Bila kita mendengarkan, misalnya kisah Al Qur'an tentang malaikat yang bersujud di hadapan Adam as, maka kita tahu betapa mulianya makhluk ini. Tetapi bila kita mendengarkan Al Qur'an berkali-kali, mengingatkan kita pada asal usul manusia, kita tahu betapa tidak berharganya makhluk ini karena berasal dari air yang memancar dari tulang rusuk. Kedua sisi yang bertolak belakang ini diperintahkan agar terpelihara secara seimbang. Manusia bisa menjadi besar dan sombong kalau tidak melihat sisi kehinaannya dan sebaliknya bisa kerdil dan tidak berdaya kalau tidak ingat akan sisi kemuliaannya. Karena itu Al Qur'an tidak hanya mengutuk Fir'aun yang sombong tetapi juga mengutuk kaumnya yang lemah dan tidak punya keberanian untuk melawannya.

Kedua sisi manusia yang bertolak belakang itu juga diterjemahkan oleh agama melalui tatanan hukumnya. Ketika seorang manusia tidak bersalah maka hak dan martabatnya dianggap suci dan harus dilindungi secara penuh, sebaliknya ketika kesalahan seseorang sampai kepada kejahatan qishos atau hudud, maka satu per satu dari sendi-sendi kemuliaannya itu runtuh untuk kemudian diperlakukan oleh hukum berdasarkan sisi kehinaannya. Ia tidak lagi dipandang sebagai anggota masyarakat yang berguna, tetapi sebaliknya ia bagaikan anggota tubuh yang terpaksa harus diamputasi demi keselamatan tubuh itu sendiri. Karena itu, Al Qur'an melarang kita menaruh rasa iba kepada pezina yang dijatuhi hukuman cambuk (QS 24:2) karena ia memang tidak lagi berhak mendapatkan rasa iba.

Dengan demikian anggapan bahwa sanksi dan hukuman pidana Islam (hukuman mati, potong tangan, cambuk) adalah kejam atau tidak manusiawi, berarti karena tidak adanya keyakinan akan sisi kehinaan manusia sehingga ia dipandang sebagai makhluk mulia selamanya dan dalam keadaan apa saja.

Dengan menggabungkan dua sisi manusia yang bertolak belakang itu, maka hukuman pidana Islam dapat dikatakan keras dan berat, tetapi kekerasan itu dijatuhkan kepada seseorang yang sebenarya telah dilucuti martabat kemanusiaannya sehingga penerapannya tidak dapat dikatakan bertentangan dengan perlindungan HAM.

Uraian di atas barangkali akan mengundang pertanyaan, yakni dengan ukuran apa pelaku tindak pidana qishos atau hudud dianggap telah runtuh martabat kemanusiannya? Di sinilah dapat dilihat tolok ukur yang berbeda antara hukum Islam dengan hukum yang lain. Hukum Islam menetapkan beberapa parameter untuk mengukur sempurna atau tidaknya martabat hukum seseorang, di antaranya adalah parameter akidah dan harga diri. Dua hal ini dalam pandangan di luar Islam tidak termasuk kebutuhan vital bagi manusia dimana seseorang boleh beradab, percaya kepada Tuhan atau tidak, boleh mempermainkan akidah dengan menyatakan keluar dari akidah yang benar dan begitu juga boleh mempertahankan harga dirinya atau tidak, bahkan boleh menjual harga dirinya sekalipun.

Sementara hukum Islam mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut hukum Islam, akidah yang benar adalah kebutuhan yang sangat vital, melebihi kebutuhan terhadap makanan dan minuman karena dengan akidah seseorang bisa hidup secara rohani sementara makanan hanya dapat membuatnya secara jasmani saja (QS. 6:123). Akidah bagaikan mata air yang dibutuhkan setiap orang, harus diberi kebebasan mengalir dan tidak seorang pun boleh menyumbatnya atau mencemarinya. Adapun setelah mengalir lantas ada orang-orang yang tidak mau meminumnya maka hal itu akan menjadi hak mereka.

Akidah Islam tidak pernah dan tidak boleh dipaksakan kepada siapapun, tetapi pada saat yang sama tidak ada seorang pun yang boleh menghalanginya atau mencemari dan mempermainkannya. Oleh karena itu, orang-orang yang menghalangi perjalanan akidah dianggap telah gugur harkat kemanusiaannya dan disyariatkan jihad untuk melawan mereka.

Dalam hal harga diri, hukum Islam menganggapnya juga sebagai sesuatu yang mutlak dibutuhkan sebab ia merupakan inti perbedaan antara manusia dan binatang sehingga perusakan harga diri akan berakibat sama dengan perusakan kaidah atau kebutuhan pokok yang lain. Karena itu, perbuatan zina sekalipun dilakukan secara suka demi suka dianggap telah menodai harkat manusia dan pelakunya dikenai pidana yang berat yakni seratus kali cambukan.

Tolok ukur seperti di atas juga dapat mengundang pertanyaan baru yaitu kenapa mesti demikain? Bukankah tanpa akidah dan harga diri, hak asasi manusia dapat dilindungi? Islam memandang manusia bukanlah tuan dari dirinya sendiri yang berhak menetukan apa saja yang dikehendakinya. Manusia adalah tuan dari makhluk-makhluk lain di dunia, sementara dirinya adalah hamba yang dipertuan Tuhan dan hak sasinya pun diperoleh dari pemberian Tuhan. Tuhanlah yang menentukan apa saja Hak Asasi Manusia dan bagaimana cara melindunginya. Karena itu ketika Al Qur'an mewajibkan hukuman qishos, kewajiban ini dikahiri dengan kata-kata "agar kalian tertawa" (QS 2:179). Maka apabila hukum pidana umum hanya bertujuan untuk menciptakan rasa aman dalam masyarakat, hukum

0 Responses

Posting Komentar