Perspektif sosiologi hukum)
Oleh Simon Tukan 
 
SEBULAN terakhir, halaman-halaman Pos Kupang (PK) diwarnai dengan pemberitaan mengenai masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Beberapa yang dapat direkam di sini adalah :
(a)     ditahannya penanggung jawab TKI (PK,24/8), 
(b)     11 orang calon TKI digelandang ke Mapolres Kupang dan polisi   
          gagalkan pemberangkatan 108 TKI (PK, 31/8), 
(c)      7 calon TKI disekap di Jakarta (PK,1/9) dan 
(d)    136 TKI ditangkap (PK,2/9). Masih banyak lagi yang tidak dideretkan di sini,  seperti pemerkosaan, kekerasan dan pembunuhan TKI di dalam maupun di luar negeri.
 
Dokumentasi Pos Kupang mencatat sekurang-kurangnya 7 kasus penangkapan dan pemulangkan TKI asal NTT (PK,2/9). Apa yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari masalah ketenagakerjaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan belum teratasi. Mengapa bangsa ini tidak pernah berhenti bergumul dengan persoalan ketenagakerjaan? Tulisan ini akan membahas masalah tersebut dari sudut pandang sosiologi hukum.Keterlibatan manusia
 
Menggunakan sosiologi hukum untuk menganalisis persoalan ketenagakerjaan berarti kita tidak hanya melihat peraturan-peraturan hukum yang diciptakan untuk mengatur TKI, tetapi dan terutama adalah keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum tersebut. Sudut pandang ini penting karena meskipun di Indonesia sudah ada UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan berbagai peraturan pelaksanaannya, masih begitu banyak masalah TKI yang timbul dan sepertinya tidak pernah berhenti. Salah satu masalah yang dikeluhkan ialah para calon TKI itu mencari kerja tanpa membawa serta dokumen-dokumen resmi, yaitu persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh seorang pencari kerja. 
 
Masalah-masalah itu erat kaitannya dengan keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum, dalam hal ini pelaksanaan dan penegakan  hukum ketenagakerjaan. Keterlibatan manusia membuat pelaksanaan dan penegakan itu tidak hanya logislinier semata, tetapi sangat kompleks karena sarat dengan dimensi manusia  dan sekalian faktor yang menyertainya. Karena itu Holmes mengatakan, "hukum tidak hanya sesuatu yang logis tetapi juga merupakan pengalaman" (Raharjo,2002).
 
Pengetahuan dan pemahaman hukumDengan kerangka pikir itu keberhasilan 
pelaksanaan dan penegakan hukum ketenagakerjaan sangat bergantung dari tingkat kepatuhan berbagai komponenberikut : calon TKI dan keluarga, para calo, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perekrut TKI), perusahaan pengguna tenaga kerja dan juga bergantung dari kualitas pelayanan hukum dari pemerintah. Sudah pasti bahwa tingkat kepatuhan hukum berbeda dari calon TKI dan keluarga dengan para calo, dengan perusahaan penyedia tenaga kerja, dengan perusahaan pengguna tenaga kerja. Pengetahuan dan pemahaman hukum dari masing-masing pihak dengan seluruh latar belakangnya sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan hukum. Demikian juga kualitas pelayanan dari pemerintah erat kaitannya dengan faktor sosial yang melingkunginya.
 
Dalam hal masalah calon TKI yang tidak mempunyai dokumen resmi, UU Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa seseorang yang mau menjadi pekerja pada perusahaan tertentu melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dan khusus untuk anak diatur dalam Pasal 69 ayat (2). Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa harus ada hubungan antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang dinyatakan melalui perjanjian kerja. Selain itu, pekerja/buruh, terutama pekerja/buruh anak harus mendapat izinan dari orangtua/wali. Mutatis-mutandis, pekerja yang sudah berkeluarga 
perlu mendapat izinan dari suami/istri, selain itu pekerja juga perlu mendapat izin dari kepala desa atau lurah tempat dia berasal.Kebutuhan mendapatkan pekerjaan. Syarat-syarat tersebut sering sulit terpenuhi karena berbagai sebab, antara lain ketidaktahuan si calon TKI, keterbatasan dana untuk mengurusnya atau sikap cari gampang dengan mengandalkan jaminan dari anggota keluarga, kerabat atau kenalan yang sudah berpengalaman di sana. Hal terakhir ini didukung oleh faktor kelancaran transportasi yang menghubungkan tempat asal TKI dengan daerah tujuan. Syarat-syarat administratif semakin sulit terpenuhi bilamana para calo dan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mengetahui kelemahan si calon TKI dan memanfaatkannya dengan memberikan janji-janji muluk bahwa akan menjamin membereskan semua urusan setelah si calon TKI tiba di tempat kerja. Contoh dalam hal ini adalah pengalaman yang dialami oleh Marya Cardoso, dkk yang dijanjikan akan dipekerjakan di Malaysia tetapi kemudian disekap di suatu tempat di Jakarta, atau juga nasib yang dialami oleh 136 calon TKI dari Belu yang mengikuti Wempy Oematan yang berjanji akan mengurus perjalanan mereka.
 
Ketakberdayaan calon TKI membuat mereka memberikan kepercayaan yang penuh kepada para calo atau perusahaan perekrut pekerja/buruh untuk mengurus segala persyaratan yang diperlukan. Para calo atau perusahaan dalam hal ini berperan sebagai penghubung antara calon TKI dengan hukum. Hukum bagi para calon TKI, seperti dikatakan Maureen Cain, tampak sebagai "meta-language", yangsama sekali tidak mudah dipahami (Raharjo, 2002:152). Karena itu para calo atau perusahaan 
perekrut pekerja/buruh bertindak sebagai penerjemah hukum. Transaksi keduanya berlangsung dalam konteks ekonomi sebagai medan sosial. Para calon TKI sebetulnya tidak mempunyai kepentingan dengan hukum, mereka hanya ingin memperoleh bantuan atau pertolongan agar kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dapat teratasi. Mereka tidak peduli dengan peraturan-peraturan hukum yang harus dtaati dalam proses mendapatkan pekerjaan. Yang diperlukannya hanyalah bantuan untuk segera mendapatkan pekerjaan. Karena itu, tugas para calo atau perusahaan perekrut adalah melayani kepentingan calon TKI dan kepentingan perusahaan pengguna tenaga kerja.
 
Sebagai penghubung para calo atau perusahaan perekrut sering mengalami konflik kepentingan, sehingga harus melakukan manajemen konflik. Mereka berusaha meyakinkan para calon TKI dan perusahaan pengguna tenaga kerja sebagai orang yang profesional di bidang hukum, orang yang tahu apa yang dibutuhkan dan prosedur yang ditempuh sehingga kepentingan kedua pihak yang lain dapat terpenuhi. Dalam konteks ekonomi sebagai medan sosial transaksi tersebut cenderung melindungi kepentingan para calo atau perusahaan perekrut tanpa jaminan bahwa kepentingan si calon TKI pun dilindungi. Dalam hal ini, 
perekrutan TKI tidak lebih dari upaya perdagangan manusia.
 
Pelayanan hukum kepada masyarakat
 
Persoalan ketenagakerjaan juga dipengaruhi oleh faktor pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan hukum kepada masyarakat, yakni mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan hukum. Pelaksanaan fungsi pelayanan hukum harus mampu memberikan pencerahan dan perlindungan hukum kepada masyarakat dengan memperhatikan berbagai dimensi berikut: (1) mencegah pelanggaran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum pada umumnya; (2) menjaga keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam aneka kegiatan yang 
diawasi; (melindungi kepentingan umum dari suatu kegiatan yang tidak diawasi atau dikendalikan dan (5) mencegah orang-orang atau badan yang tidak berhak, atau yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum (Bagir Manan, 2000:158).
 
Pelaksanaan fungsi pelayanan hukum dengan berbagai dimensinya, tidak jarang menimbulkan masalah karena berbagai alasan. Pertama, pelibatan masayarakat sebagai upaya demokratisasi dalam pelaksanaan fungsi pelayanan hukum tidak proporsional dengan pelayanan pemerintahan terhadap masyarakat. Di satu pihak pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan memberikan berbagai kemudahan dan mendorong tumbuhnya kreativitas dan inisiatif masyarakat, tetapi 
di pihak lain hal itu justru menghilangkan berbagai peluang masyarakat yang dibatasi oleh waktu, kesempatan dan sebagainya; membuka peluang bagipenyalahgunaan wewenang karena birokratisasi yang berlebihan dalam penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian. Kedua, pelaksanaan pelayanan hukum terlalu sering dikaitkan dengan fungsi pengamanan (security) dengan pendekatan ancaman. Cara pelayanan hukum demikian, membutuhkan banyak tenaga birokrasi tetapi tidak sebanding dengan kebutuhan pekerjaan yang mau diselesaikan. Pelibatan banyak tenaga biasanya menimbulkan persoalan-persoalan koordinasi, pemaduan 
pendapat, waktu dan lain-lain. Hal itu akan semakin sulit bila mutu sumber daya manusia yang bekerja pada birokrasi tidak begitu memadai (Bagir Manan: 2000:159-160).
 
Demikianlah masalah TKI tanpa dokumen resmi yang muncul ke permukaan ternyata begitu kompleks dan sangat mempengaruhi kehendak para pihak untuk mematuhi hukum dan melaksanakan pelayanan hukum secara jujur, cepat dan tepat. Untuk lebih meningkatkan kepatuhan hukum masyarakat dan mengoptimalkan pelayanan hukum kepada masyarakat, khususnya di bidang ketenagakerjaan maka perlu dilakukan beberapa hal berikut: a) penyederhanaan tata cara dan kewenangan pelayanan. Hal ini berkaitan erat dengan dengan peniadaan berbagai syarat atau prasyarat yang tidak relevan dengan pelayanan hukum. Tidak jarang dijumpai bahwa syarat atau prasyarat tersebut merupakan hasil tambahan yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, khusus bidang ketenagakerjaan; b) melepaskan fungsi pelayanan dari semua pemikiran bahwa pelayanan adalah instrumen sumber keuangan. c) menjauhkan fungsi pengawasan yang menekankan fungsi pengamanan dengan pendekatan keamanan; d) memperbaiki hubungan kewenangan yang tumpang tindih, penuh ketidakpastian, dan e) membuat perencanaan dan melaksanakan 
sistematis pembinaan sumber daya manusia (masyarakat akar rumput) dengan mengutamakan mutu, jaminan kemudahan untuk memperoleh pekerjaan dan mencapai kesejahteraan (Bagir Manan, 2000:162-163).
 
* Penulis, rohaniwan, tinggal di Ruten
Manfaat Hukum Sosiologi

Jakarta-Utara.Com 2006/10/31 22:14:52

Penulis : Wayan Nilon ( Staf SPK Polsek Koja Jakarta Utara )a

Manfaat Hukum Sosiologi Dengan Hukum Lain


Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Ilmu Sosiologi

adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analistis dan

impiris untuk mempelajari hubungan timbal balik antara hukum

dengan gejala-gejala sosial lainnya termasuk pola prilaku

masyarakat. Sosiologi hukum mengandung unsur-unsur kekuasaan

yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala

hukum yang tampak dari kehidupan masyarakat dan bertujuan

untuk dapat memenuhi pergaulan hidup berdasarkan hirarki

urutannya.

Cara-cara efektif dari hukum dalam pembentukan prilaku

dinamakan ruang lingkup bersama sosiologi hukum. Jadi pada

dasarnya pola-pola prilaku masyarakat dan cara bertindak

berkelakuan yang sama dengan orang lain yang hidup bersama

dalam masyarakat dapat dirumuskan bahwa sosiologi suatu cabang

ilmu pengetahuan yang meneliti mengapa manusia patuh dan taat

hukum serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Sosiologi

hukum merupakan cabang dari sosiologi umum sebagaimana halnya

sosiologi keluarga, sosiologi ekonomi, sosiologi industri,

dapat dipandang sebagai alat dari ilmu hukum dalam meneliti

obyeknya dan dapat pula dipandang untuk pelaksanaan proses

hukum dan beberapa masalah yang disoroti.

Sosiologi hukum ini masih muda usianya dan merupakan cerminan

dari hasil karya dan pemikiran para ahli dalam memusatkan

perhatian pada sosiologi hukum dan kepentingan-kepentingan

yang bersifat teroritis sampai mendapat pendidikan baik bidang

sosiologi maupun hukum. Ada beberapa persoalan yang

mendapatkan sorotan sosiologi hukum seperti, Hukum dan sistem

sosial masyarakat, Persamaan-persamaan dan perbedaan

sistim-sistim hukum, Sifat sistim hukumdan dualistis, Hukum

dan nilai-nilai budaya, Hukum dan kekuasaan, Kepastian hukum

dan kesebandingan, Peranan hukum sebagai alat untuk mengubah

masyarakat.

Ada sesuatu kekuatan yang menjadi pelopor perubahan biasanya

menjadi kelompok sosial yang mengenai berbagai kelompok

sosial, peranan hukum berpendapat bahwa hukum itu bersifat

mempertahankan status quo yang efeknya terhadap masyarakat dan

persoalannya yang ada hubungan dengan gambaran mengenai

masalah sebagai berikut, Pengadilan, Efek suatu peraturan

perundang-undangan dalam masyarakat, Tertinggalnya hukum

dibelakang perubahan-perubahan sosial masyarakat, Hubungan

antara penegak hukum atau pelaksana hukum serta Masalah

keadilan.

Artinya Sosiologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang secara

teoritis analistis dan empiris dapat menyoroti pengaruh sosial

dan terhadap hukum. Misalnya efek hukum terhadap gejala-gejal

sosial seperti UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan atau UU

No 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Kurangnya perhatian para

sosiolog terhadap hukum. Para sosiolog kesulitan untuk

menyoroti sistim hukum yang semata-mata sebagai kumpulan

kaidah-kaidah yang bersifat normative segabai halnya para

yuridis. Para sosiolog merupakan suatu disiplin yang katagoris

dan adanya kesulitan menguasai keseluruhan data tentang hukum

yang demikian banyaknya yang dihasilkan oleh beberapa genrasi

ahli hukum.

Jika itu terlaksana Sosiologi hukum dapat berjalan bersama

dapat mengungkapkan idiologi dan falsafah pada taraf

organisasi masyarakat. Dapat juga diidentifikasi unsur-unsur

kebudayaan manakah yang saling mempengaruhi isi dan subtansi

hukum. Dapat mempengaruhi dalam pembentukkan hukum dan

penegakkan hukum serta penerapan hukum juga membangkitkan

kesadaran hukumdari golongan tertentu dalam masyarakat.(red)

DEFINISI SOSIOLOGI HUKUM


Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.

muamalah munakahat

A. PENGERTIAN JUAL BELI

Jual beli ( ) artinya menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata : (beli). Dengan demikian kata : berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi, diantaranya:

Oleh ulama Hanafiyah didefinisikan dengan:

“Saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu”, atau :

“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.

Said Sabiq mendefinisikannya

“Saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka”

Oleh Imam Nawawi didefinisikan :

“Saling menukar harta dengan bentuk pemindahan milik.”

Oleh Abu Qudomah didefinisikan

“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.

Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.

Dalam al-Quran Allah berfirman

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al-Baqarah:275)

Firman Allah :

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu (al-Baqarah:198)

Firman Allah

..Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ….(An-Nisa’ : 29)

dan persaksikanlah, apabila kamu berjual beli (al-Baqarah:282)

HUKUM JUAL BELI

Para ulama fikih mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun, menurut Imam Asy-Syatibi (ahli fikih Mazhab Imam maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu. Sebagai contoh dikemukakannya, bila suatu waktu terjadi praktek ihtikar ( ), yaitu penimbunan barang, sehingga persediaan (stok) hilang dari pasar dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu. Para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah di dalam menentukan harga dipasaran.

Malahan disamping wajib menjual barang dagangannya, dapat juga dikenakan sanksi hukum, karena tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat.

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI

Jual beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat jual beli. Mengenai rukun dan syarat jual-beli, para ulama berbeda pendapat.

Menurut mazhab hanafi rukun jual beli hanya ijab dan kabul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun, karena unsur kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan maka diperlukan indikarot (warinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak. Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan, yang saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang). Dalam fikih terkenal dengan istilah ……………..

Menurut jumhur ulama rukun jual-beli ada empat

a. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)

b. Sighat (lafal ijab dan kabul)

c. Ada barang yang dibeli

d. Ada nilai tukar pengganti barang

Menurut mazhab hanafi orang yang berakad, barang dibeli dan nilai tukar (a,c,d) diatas termasuk syarat jual beli, bukan rukun.

Menurut jumhur Ulama, bahwa orang syarat jual-beli sesuai dengan rukun jual-beli yang disebutkan diatas adalah sebagai berikut.

1. Syarat orang yang berakad

Ulama fikih sepakat, bahwa ada orang yang melakukan akad jual-beli harus memenuhi syarat:

a) Berakal. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal hukumnya tidak sah. Anak kecil yang sudah mumayyiz (menjelang baligh), apabila akad yang dilakukannya membawa keuntungan baginya, seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan harta kepada orang lain, mewakafkan atau menghibahkan tidak dibenarkan menurut hukum.

Transaksi yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz yang mengandung manfaat dan mudarat sekaligus, seperti jual-beli, sewa-menyewa dan perserikatan dagang, dipandang sah menurut hukum dengan ketentuan bila walinya mengizinkan setelah dipertimbangkan dengan sematang-matangnya.

b. orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan.

2. Syarat yang terkait dengan ijab dan kabul.

Ulama fikih menyatakan bahwa syarat ijab dan kabul ini adalah sebagai berikut :

a. Orang yang mengucapkan telah akil baligh dan beralak (jumhur ulama) atau telah berakal (ulama mazhab hanafi) sesuai dengan perbedaan mereka dalam menentukan syarat-syarat seperti telah dikemukan diatas.

b. Kabul sesuai dengan ijab. Contohnya : “Saya jual sepeda ini dengan harga sepuluh ribu”, pembeli menjawab: “saya beli dengan harga sepuluh ribu.”

c. Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan akan jual beli hadir dan membicarakan masalah yang sama.

Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli beranjak sebelum mengucapkan kabul atau pembeli mengadakan aktifitas lain yang tidak ada kaitannya dengan akad jual-beli tersebut, kemudian sesudah itu dia mengucapkan kabul, maka menurut kesepakan ulama, fikih, jual-beli itu tidak sah, sekalipun mereka berpendirian, baha ijab tidak mesti dijawab langsung dengan kabul.

Berkenaan dengan hal ini, Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki mempunyai pandangan lain, bahwa ijab dan kabul boleh saja diantaranya oleh waktu, dengan perkiraan bahwa pihak pembeli mempunyai kesempatan untuk berpikir.

Ulama Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hambali berpendapat, bahwa jarak antara ijab dan kabul jangan terlalu lama, karena dapat menimbulkan dugaan bahwa objek pembicaraan jual-beli telah berubah.

Pada zaman sekarang ini, ijab dan kabul tidak lagi diucapkan, tetapi dilakukan dengan tindakan, bahwa penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uang dengan harga yang telah disepakati, seperti yang berlaku di toko swalayan dan toko-toko pada umumnya.

Berbeda dengan jual-beli di sebagian pedesaan masik kita lihat ada ijab dan kabul, karena transaksi akan jual-beli tidak begitu banyak. Lain halnya dengan di kota-kota, terutama di kota besar, ijab dan kabul sudah tidak terlihat lagi.

Syarat yang diperjualbelikan adalah sebagai berikut :

a) Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu, umpanya, barang itu ada pada sebuah toko atau masih dipabrik dan yang lainnya disimpan di gudang, sebab adakalanya tidak semua barang yang akan dijual berada di toko atau belum dikirim dari pabrik. Mungkin karena tempat sempit dan alasan-alasan lainnya.

b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.

c) Milik seseorang

d) Dapat diserahkan pada saat akan berlangsung

Syarat nilai tukar (harga barang)

Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting. Zaman sekarang disebut uang. Berkaitan dengan nilai tukar ini, ulama fikih membedakan antara as-tsaman ( ) dan as-Si’r ( )

Menurut mereka, as-tsamn adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Dengan demikian, ada dua harga, yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual pasar)

Harga yang dapat dipermaikan para pedagang adalah as-tsamn,bukan as-Si’r. ulama fikih mengemukakan syarat as-tsamn sebagai berikut :

a) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

b) Dapat diserahkan pada saat waktu akan (transaksi), sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian (berhutang) maka waktu pembayarannya pun harus jelas waktunya.

c) Apabila jual beli itu dilakukan secara barter ( ) maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’ seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam pandangan syara’.

Disamping syarat yang bekaitan dengan rukun jual-beli diatas, ulama fikih juga mengemukakan beberapa syarat lain.

a) Syarat sah jual beli

Ulama fikih menyatakan, bahwa suatu jual beli baru dianggap sah, apabila terpenuhi dua hal:

(1) Jual beli itu terhindar dari cacat seperti barang yang diperjualbelikan tidak jelas, baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Begitu juga harga tidak jelas, jual beli itu mengandung unsur paksaan, penipuan dan syarat-syarat lain yang mengakibatkan jual-beli rusak.

(2) Apabila barang yang diperjualbelikan itu benda bergerak, maka barang itu langsung dikuasai pembeli dan harga dikuasai penjual. Sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai penjual, sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pembeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan sesuai dengan kebiasaan setempat.

b) Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual-beli.

Jual beli baru dapat dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual-beli. Umpamanya, barang itu miliki sendiri (bukan milik orang lain atau hak yang terkait dengan barang itu).

c) Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual-eli

Ulama fikih sepakat menyatakan, bahwa suatu jual-beli baru bersifat mengikat, apabila jual-beli itu terbebas dari segala macam : , yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli. Apabila jual-beli itu masih mempunyai hak (khiyar), maka jual beli itu belum mengikat dan masih dapat dibatalkan.

UNSUR KELALAIAN DALAM JUAL BELI

Untuk setiap kelalaian ada resiko yang harus dijamin oleh pihak yang lalai. Menurut ulama fikih, bentuk kelalain dalam jual beli, diantaranya :

a) Barang dijual itu, bukan milik penjual (barang titipan, jaminan hutang ditangan penjual, barang curian).

b) Sesuai perjanjian, barang tersebut harus diserahkan ke rumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata barang tidak diantarkan dan tidak tepat waktu.

c) Barang tersebut rusak sebelum sampai ke tangan pembeli.

d) Barang tersebut tidak sesuai dengan contoh yang telah disepakati.

Dalam kasus-kasus seperti ini, risikonya adalah ganti rugi dari pihak yang lalai.

BENTUK BENTUK JUAL BELI

Mazhab Hanafi membagi jual-beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk

1) Jual beli yang sahih

Apabila jual-beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun atau syarat yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan khiyar lagi, maka jual beli itu sahih dan mengikat kedua belah pihak.

2) Jual beli batil

Apabila pada jual-beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan, maka jual beli itu batil. Umpamanya, jual-beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, atau barang-barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan syara’ (bangkai, darah, babi dan khamar).

Jual beli yang batil itu sebagai berikut

(a) Jual beli sesuatu yang tidak ada

Bahwa jual beli barang yang tidak sah. Umpamanya, menjual buah-buahan yang baru berkembang (mungkin jadi buah atau tidak), atau menjual anak sapi yang masih dalam perut ibunya.

(b) Menjual barang yang dapat diserahkan

Menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, tidak sah (batil), umpamanya menjual barang yang hilang, atau burung peliharaan yang lepas dari sangkarnya.

(c) Jual-beli yang mengandung unsur tipuan

Menjual barang yang ada mengandung unsur tipuan tidak sah (batil), umpanya, barang itu kelihatannya baik, sedangkan dibaliknya terlihat tidak baik.

(d) Jual beli benda najis

Jual beli benda najis hukumnya tidak sah, seperti menjual babi,bangkai, darah dan khamar (semua benda yang memabukkan)

(e) Jual beli al-‘urbun

Jual-beli al-urbun adalah jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian. Apabila barang yang sudah dikembalikan kepada penjual, maka uang muka (panjar) yang diberikan kepada penjual menjadi milik penjual itu (hibah).

(f) Memperjualbelikan air sungai, air danau, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang.

3) Jual beli yang fasid

(1) Jual beli al-majhl ( ) yaitu benda atau barangnya secara global tidak diketahui.

Umpamanya, seseorang membeli jam tangan merk tertentu.pembeli hanya tahu membedakan jan tangan itu asli atau tidak melalui bentuk dan mereknya saja.

(2) Jual-beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli : “saya jual mobil ini kepada anda bulan depan setelah mendapat gaji.”

(3) Menjual barang yang ghaib yang tidak diktahui pada saat jual beli berlangsung, sehingg tidak dapat dilihat pembeli.

(4) Jual-beli yang dilakukan orang buta

(5) Barter barang dengan barang yang diharamkan

(6) Jual beli al-ajl

(7) Jual-beli anggur untuk tujuan pembuatan khamar

(8) Jual beli yang bergantung pada syarat.

(9) Jual-beli sebagian barang yang tidak dapat dipisahkan dari satuannya.

(10) Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matanya untuk dipanen.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu
proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap
terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga
mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai
pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat
nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat
dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh
lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi
yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan
kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentukbentuk
perbuatan hukum baru;
d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara,
dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi
kepentingan nasional;
e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting
dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian
nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan
Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan secara aman untuk mencegah
penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai
agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
f, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik;
Mengingat :. . .
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan
informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
2
5. Sistem . . .
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan
Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem
Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun
terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem
Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan
terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara
otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat
elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para
pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10.Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum
yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang
memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
11.Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan
diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit
dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
12.Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri
atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau
terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13.Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan
atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14.Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi
logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15.Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem
Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya
atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk
dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
lainnya.
3
17. Kontrak . . .
17.Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat
melalui Sistem Elektronik.
18.Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19.Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20.Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang
dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,
yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik
untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21.Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara
Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
22.Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau
perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
23.Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang
ditunjuk oleh Presiden.
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi
atau netral teknologi.
4
Pasal 4 . . .
Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang
untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-
Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau
akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6
5
Pasal 6 . . .
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi
harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang
telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus
memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik
yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 8
(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada
saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
telah dikirim dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke
suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan
Penerima dan telah memasuki Sistem Elektronik yang
berada di luar kendali Pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah
kendali Penerima yang berhak.
(3)Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem
Elektronik tertentu untuk menerima Informasi Elektronik,
penerimaan terjadi pada saat Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik
yang ditunjuk.
(4)Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang
digunakan dalam pengiriman atau penerimaan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem
informasi pertama yang berada di luar kendali
Pengirim;
6
b. waktu . . .
b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki sistem
informasi terakhir yang berada di bawah kendali
Penerima.
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
Pasal 10
(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi
Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi
Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi
Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan
akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait
hanya kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat
proses penandatanganan elektronik hanya berada
dalam kuasa Penanda Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik
yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa
Penanda Tangan telah memberikan persetujuan
terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
7
(2) Ketentuan . . .
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik
berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda
Tangan Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak
berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehatihatian
untuk menghindari penggunaan secara tidak
sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan
Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda,
menggunakan cara yang dianjurkan oleh
penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara
lain yang layak dan sepatutnya harus segera
memberitahukan kepada seseorang yang oleh
Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda
Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung
layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data
pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah
dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan
dapat menimbulkan risiko yang berarti,
kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan
Tanda Tangan Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk
mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda
Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan
semua informasi yang terkait dengan Sertifikat
Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab
atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.
8

BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
Pasal 13
(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan
Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan
keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan
pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan
hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi
di Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (5) harus
menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada
setiap pengguna jasa, yang meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda
Tangan;
b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri
pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan
c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan
dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.
9
Bagian Kedua . . .
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus
menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan
aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya
Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab
terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang
tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan
masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan,
keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi
Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau
petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol
yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk
menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
10
BAB V . . .
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan
dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad
baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama
transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak
Elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum
yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam
Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut,
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus
menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.
11
Pasal 20 . . .
Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik
terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim
Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi
Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya,
atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen
Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal
beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak
ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala
akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara
Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal
beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak
pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
12
Pasal 22 . . .
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan
fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang
memungkinkan penggunanya melakukan perubahan
informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen
Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL,
DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI
Pasal 23
(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha,
dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama Domain
berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad
baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara
sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau
masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama
Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak
mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain
dimaksud.
Pasal 24
(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(2)Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain
oleh masyarakat, Pemerintah berhak mengambil alih
sementara pengelolaan Nama Domain yang
diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah
Indonesia dan Nama Domain yang diregistrasinya diakui
keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13
Pasal 25 . . .
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya
intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak
Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundangundangan,
penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas
kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang
ini.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.
14
Pasal 28 . . .
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik
dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik
Orang lain.
15
(2) Setiap . . .
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak
bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/
atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang
tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang
menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apa pun memindahkan atau
mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak
berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat
rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan
keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat
terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan
Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya.
16
Pasal 34 . . .
Pasal 34
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan,
atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang
dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang
sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem
Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan
penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk
perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan
tidak melawan hukum.
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah
data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan
kerugian bagi Orang lain.
Pasal 37
Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem
Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
17
BAB VIII . . .
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak
yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau
menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan
kerugian.
(2)Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan
terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang
berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 39
(1)Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu
ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang
memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data
tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
18
(5) Instansi . . .
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3)
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang
elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data
yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1)Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan
Teknologi Informasi melalui penggunaan dan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi
Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk
oleh masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan
dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
19
(2) Penyidikan . . .
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi,
kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data,
atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem
elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana
harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri
setempat.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk
didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau
saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak
pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-
Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau
Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana
yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi
yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
berdasarkan Undang-Undang ini;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu
yang diduga digunakan sebagai tempat untuk
melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat
dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang
diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
20
h. meminta . . .
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam
penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini; dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana
berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan,
penyidik melalui penuntut umum wajib meminta
penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam
waktu satu kali dua puluh empat jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut
umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat
berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi
informasi dan alat bukti.
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah
sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3).
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
21
(2) Setiap . . .
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 48
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
22
(2) Setiap . . .
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 49
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 50
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 52
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi
seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga
dari pidana pokok.
23
(2) Dalam . . .
(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer
dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang
digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana
pokok ditambah sepertiga.
(3)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer
dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau
badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada
lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan,
lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam
dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masingmasing
Pasal ditambah dua pertiga.
(4)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi
dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan
Perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan
dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap
berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2
(dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
24
Agar. . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 58
Salinan sesuai dengan aslinya
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA
BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
MUHAMMAD SAPTA MURTI
25
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
I. UMUM
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah
baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula
menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan
menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang
bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi
sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum
siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum
telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum
telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang
juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information
technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum
mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan
melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam
lingkup lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi
informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik
yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali
dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi,
dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian
dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui
sistem elektronik.
Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalam
arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat
lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau
sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer
adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode,
skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media
yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer
26
Sistem . . .
bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang
khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.
Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem
informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis
jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang,
memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau
menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis dan
manajemen sebenarnya adalah perwujudan penerapan produk teknologi
informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai
dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi tersebut dan sesuai
dengan tujuan peruntukannya. Pada sisi yang lain, sistem informasi secara
teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan
mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak,
prosedur, sumber daya manusia, dan substansi informasi yang dalam
pemanfaatannya mencakup fungsi input, process, output, storage, dan
communication.
Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama
memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan
kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik
sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi
sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu
negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Kerugian
dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang
tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit
melalui pembelanjaan di Internet. Di samping itu, pembuktian merupakan
faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja
belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara
komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah,
disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu
hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa
demikian kompleks dan rumit.
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena
transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik
(electronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan
internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang
teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang
terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya
perkembangan baru di bidang teknologi informasi, media, dan komunikasi.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber
(cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai
tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada
ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum
konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak
kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam
27
Dengan . . .
ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata
meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai
Orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam
kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang
kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian
hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi
agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga
pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan
aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk
mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara
elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian
hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata
untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan
oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan
hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia
baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki
akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi
Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat
bersifat lintas teritorial atau universal.
Yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah
meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi
nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa,
pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara,
serta badan hukum Indonesia.
Pasal 3
“Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu
yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses
28
“Asas . . .
berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
“Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan
harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan
kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Asas iktikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak dalam
melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi
pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti asas
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak
terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat
mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Huruf a
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis
meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat
yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses
penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi
negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen
yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya
informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa
saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik,
informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk
dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan
29
Pasal 7 . . .
cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak
dapat dibedakan lagi dari salinannya.
Pasal 7
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu
hak.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” meliputi:
a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan
kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara
maupun perantara;
b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat
sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Pasal 10
Ayat (1)
Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku
usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak
berusaha setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang
berwenang. Bukti telah dilakukan Sertifikasi Keandalan
ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark
pada laman (home page) pelaku usaha tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa
meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda Tangan Elektronik
memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual
pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan
persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda
Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluasluasnya
kepada siapa pun untuk mengembangkan metode,
teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain, mengatur tentang
teknik, metode, sarana, dan proses pembuatan Tanda Tangan
Elektronik.
30
Pasal 12 . . .
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah informasi
yang minimum harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara Tanda
Tangan Elektronik.
Pasal 15
Ayat (1)
“Andal” artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan yang
sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
“Aman” artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik dan
nonfisik.
“Beroperasi sebagaimana mestinya” artinya Sistem Elektronik
memiliki kemampuan sesuai dengan spesifikasinya.
Ayat (2)
“Bertanggung jawab” artinya ada subjek hukum yang
bertanggung jawab secara hukum terhadap Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan
Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat.
Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara baik,
bijaksana, bertanggung jawab, efektif, dan efisien agar dapat
diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18 ...
31
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak
internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal
dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang
berlaku bagi kontrak tersebut.
Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat dilakukan
jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya
harus sejalan dengan prinsip hukum perdata internasional (HPI).
Ayat (3)
Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang
berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata
internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku
pada kontrak tersebut.
Ayat (4)
Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional,
termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang
dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya.
Ayat (5)
Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan
forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata
internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal
tergugat (the basis of presence) dan efektivitas yang
menekankan pada tempat harta benda tergugat berada (principle
of effectiveness).
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “disepakati” dalam pasal ini juga mencakup
disepakatinya prosedur yang terdapat dalam Sistem Elektronik yang
bersangkutan.
Pasal 20
Ayat (1)
Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para
pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas,
nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN)
atau sandi lewat (password).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21 ...
32
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dikuasakan” dalam ketentuan ini
sebaiknya dinyatakan dalam surat kuasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang memberikan
kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk melakukan
perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya
fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Nama Domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara negara,
Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang perolehannya
didasarkan pada prinsip pendaftar pertama (first come first
serve).
Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam Nama
Domain dan dalam bidang hak kekayaan intelektual karena tidak
diperlukan pemeriksaan substantif, seperti pemeriksaan dalam
pendaftaran merek dan paten.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “melanggar hak Orang lain”, misalnya
melanggar merek terdaftar, nama badan hukum terdaftar, nama
Orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada intinya
merugikan Orang lain.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penggunaan Nama Domain secara tanpa
hak” adalah pendaftaran dan penggunaan Nama Domain yang
semata-mata ditujukan untuk menghalangi atau menghambat
Orang lain untuk menggunakan nama yang intuitif dengan
keberadaan nama dirinya atau nama produknya, atau untuk
mendompleng reputasi Orang yang sudah terkenal atau ternama,
atau untuk menyesatkan konsumen.
33
Pasal 24 . . .
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun dan
didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia
dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi oleh Undang-
Undang ini dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data
pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy
rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan
pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi
dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses
informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Secara teknis perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud
pada ayat ini dapat dilakukan, antara lain dengan:
a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan atau
sengaja berusaha mewujudkan hal-hal tersebut kepada siapa
pun yang tidak berhak untuk menerimanya; atau
34
b. sengaja . . .
b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak dapat
atau gagal diterima oleh yang berwenang menerimanya di
lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ayat (3)
Sistem pengamanan adalah sistem yang membatasi akses
Komputer atau melarang akses ke dalam Komputer dengan
berdasarkan kategorisasi atau klasifikasi pengguna beserta
tingkatan kewenangan yang ditentukan.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah
kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,
mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun
jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio
frekuensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan penelitian” adalah penelitian
yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang memiliki izin.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37 ...
35
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat” merupakan lembaga yang bergerak di bidang
teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d ...
36
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang
memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi Informasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis
maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51 ...
37
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap perbuatan
melawan hukum yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 yang dilakukan oleh
korporasi (corporate crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf
yang memiliki kapasitas untuk:
a. mewakili korporasi;
b. mengambil keputusan dalam korporasi;
c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi;
d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4843
Di-pdf-kan oleh Bamban Nurcahyo Prastowo dari dokumen elektronik .doc dari
www.depkominfo.go.id
bagian regulasi undang-undang.
38
Label: 0 komentar | edit post